Pertama, kita harus berpikir bahwa pendidikan bukan hanya sebatas sebagai salah satu sector pembangunan, melainkan harus dipandang sebagai unsure yang mencakup semua elemen yang harus dipadukan, baik secara vertical maupun horizontal, ke dalam seluruh upaya pembangunan. World bank (1980) menyatakan bahwa pendidikan harus dipandang sebagi konteks interdisiplin sebagai factor pembangunan yang multi dimensional di mana manusia sebagai tujuan factor pembangunan yang instrumental. Konsekuensinya adalah bahwa, disamping konvensional seperti sekolah, pendidikan harus dilakukan sepanjang jaga manusia, meliputi semua lapisan masyarakat sebagai kelompok, dilaksanakan sewaktu-waktu diperlukan, bersifat fleksibel, dan kontennya sesuai kebutuhan klien (sasaran didik), siap mengatasi masalah setempat, dan dengan metode dan tekhnik sesuai dengan kebutuhan anggota masyarakat khususnya orang dewasa.
Kedua, kita harus memahami ruang lingkup
PLS, yang dari segi tipe programnya PLS terbagi atas tiga tipe, yaitu program
internasional, institusional, dan developmental (Boyle, 1991). Nedler
membaginya ke dalam tiga tipe pembelajaran, yaitu pendidikan, pelatihan dan
pengalaman (Nadler, 1982). Callawary membagi tipe program PLS ke dalam empat
kategori, yaitu program keaksaraan, program yang berhubungan dengan pekerjaan,
program perluasan (pertanian, industri), dan program pengembangan masyarakat
(Callawary dalam brembeck, 1983). Program pengembangan masyarakat, oleh
Knowles, dimasukkan sebagai format belajar orang dewasa (Knowles,1980).
David evans mengakegorikan PLS berdasarkan
peranan dan fungsinya menjadi complementary
education, supplementary education, dan replacement
education (evans, 1931).
Complementary education berfungsi melengkapi pelajaran di sekolah, karena
biasanya kegiatan belajarnya tidak cocok untuk disajikan dikelas atau sekolah. Suplementary education adalah tambahan
pendidikan setelah mereka tamat dari sekolah, karena ketika di sekolah tidak
mendapatkannya. Replacement education
adalah pendidikan bagi mereka yang tidak dapat memiliki sekolah, biasanya
berupa keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung dan pengetahuan
praktis, seperti kesehatan, nutrisi, pertanian.
Ketiga, baik dari segi literature maupun
pelaksanaan program, PLS diarahkan kepada perubahan social dan perubahan
tingkah laku. Eitzen mengemukakan bahwa PLS merupakan gerakan social yang
sifatnya reformatif karena ia berusaha mengubah bagian penting dari suatu
masyarakat, seperti memperbaiki pendidikan wanita, memperbaiki lingkungan,
usaha kecil, dan lain-lain (eitzen, 1991). Di Amerika latin, merupakan upaya
untuk menciptakan perubahan-perubahan social pada tingkat local. Ia menggunakan
strategi intervensi yang didasarkan pada the
man oriented dan holistic approach (La
belle, 1976). Berdasarkan pendapat ini, peran yang harus dijalankan PLS harus
mengarah pada perubahan tingkah laku dan perubahan social, terutama pada
perubahan social mikro (micro social
change). Ini berbeda dengan sekolah yang mengarah pada perubahan social
jangka panjang dan makro.
Peran PLS sebagai Pendidikan Dasar
Dari
data di bagian lain dari tulisan ini, yang menjadi beban Pendidikan Dasar di
malang, misalnya pedagang kaki lima yang berpendidikan SD ke bawah 39,5%, SLTP
38,5%, kemudian anak jalanan berpendidikan SD 64,4% dan SLTP 31,3% masih
memerlukan Pendidikan Dasar.
Program
keaksaraan paketA dan B masih perlu diteruskan, karena sangat penting bagi
kelanjutan hidupnya setelah dewasa. Theagarajan mengatakan bahwa dengan
menjadikan orang dewasa melek huruf akan
membuat mereka mandiri dan tidak bergantung dalam menghadapi lingkungan
simbolik mereka (Theagarajan, 1976). Selama ini para guru diminta membantunya
tetapi, karena kesibukan guru di sekolah, program paketA dan B banyak yang
berhenti. Kesulitan lain adalah para guru tidak dibekali dengan cara mengajar
yang bersifat andragogis sehingga pendekatan sekolah masih diterapkan, padahal
mereka berhenti sekolah salah satu sebabnya karena tidak kerasan dengan sekolah yang sangat mengikat dengan disiplin yang
sangat ketat.
Peran PLS sebagai Penyebar Informasi
Saya ingin menyarankan kepada pemerintah
daerah untuk memberikan penerangan keliling atau permanen di tempat ramai,
seperti pasar, terminal, stasiun, dan rumah sakit, yang berisi anjuran,
peraturan, etika, estetika, dan lain-lain. Misalnya, penjual makanan harus
membungkus plastic makanannya, jangan meludah di sembarang tempat, dan jangan
buang air kecil tidak pada tempatnya.
Akan tetapi, yang lebih sulit adalah
pengembangan bahan ajarnya yang dapat bekerja sama dengan jurusan PLS dan
LEmbaga Pengambangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3) universitas. Sebagaimana
dikemukakan oleh Rosenberg, bahwa sekadar menyampaikan informasi adlah kurang
efisien bagi orang untuk belajar, karena itu perlu pembelajaran, (Rosenberg,
2001). Pemerintah daerah dapat menyediakan poster dan brosur-brosur tercetak
murah di pusat-pusat informasi yang harus disediakan dan didirikan pula.
Tugas seorang tenaga PLS adalah menentukan
info apa yang disebarluaskan dan apa manfaatnya, menyediakan informasi melalui
media atau individu, menentukan cara memperluas informasi, dan melaporkan
hasilnya.
Peran PLS sebagai Program Pelatihan
Program keterampilan kerja dapat
diperuntukkan bagi mereka yang belum, bekerja, tetapi ingin memperbaikinya,
atau kepada mereka yang keterampilannya tidak lagi laku karena tidak mampu bersaing dengan yang lebih kuat. Pelatihan
untuk ini dapat dilakukan dengan tempat yang menetap (Stationary Training Unit) dan yang bergerak (Mobile Training Unit). Memang diperlukan mobil unit sesuai
keterampilan kerjanya, seperti unit pertukangan, pengelasan, mesin, elektronik,
dan masak memasak.)
Tugas tenaga PLS dalam kaitan ini adalah
melakukan pengkajian atau analisis kebutuhan belajar, merencanakan program
pembelajaran, mengorganisasikan pelatihan, menyiapkan pelatih, menentukan
target klien, serta melaksanakan, menilai dan mempersiapkan program
pendampingan pascalatihan.
Peranan PLS sebagai Penggerak Pembangunan
Kota
Penampakan dari luar orang-orang kota
kelihatan lebih tidak menderita dibandingkan orang desa, walaupun kenyataannya
tidak demikian karena didalamnya banyak komunitas kecil yang miskin, tinggal di
perumahan yang tidak layak, tinggal di lingkungan yang tidak sehat, penghasilan
rendah, rentan kejahatan, dan lain-lain.
Kota Memerlukan Perhatian
Campbell (1999) mengemukakan bahwa kota
diseluruh dunia semakin menjadi penting karena memiliki potensi baru, yaitu
kekuasaan dan pengaruh. Ada 70 negara yang memberikan otoritas lebih besar
kepada kota pada mas kini dibanding sebelumnya. Ada empat alas an mengapa
pembangunan nasional perlu memfokus ke kota-kota, yaitu: (1) adanya perubahan
demografis yang semakin memadati kota; (2) adanya efisiensi pemberian layanan;
(3) adanya pertumbuhan ekonomi; dan (4) adanya keterkaitan atau linkages antara kota dan daerah
pedesaan.
Produktivitas pendapatan menjadi 7 kali
lipat antara daerah kaya dan miskin, yang kemudian akan memicu perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Efisiensi dalam layanan terjadi disebabkan
fasilitas-fasilitas yang memudahkan mobilitas, seperti komunikasi,
transportasi, layanan kesehatan, dan lainnya, terhubung secara mudah. Kota
menyediakan pasar bagi hasil-hasil pertanian desa; sebaliknya, kota menyediakan
kebutuhan orang-orang desa.
Disamping itu, kota perlu diperhatikan
karena ada kekhawatiran akan meningkatnya kemiskinan kota (urban poverty). Shi Anqing (2001) mengatakan bahwa kemiskinan kota
kedepan akan sangat penting untuk di perhatikan karena, jika tidak, ia akan
menjadi letupan politik. Karena itu, perlu ada studi tentang kondisi-kondisi
kehidupan wilayah perkotaan.
Itulah sebabnya pembangunan kota sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi jangan sampai melupakan pembangunan masyarakat,
dimana PLS sangat berperan membantunya.
Strategi Pembangunan Masyarakat Kota
Bank dunia mencari metodologi untuk
melaksanakan strategi pembangunan kota atau City
Development Strategy (CDS). City
Development Strategy merupakan strategi untuk membangun kota menciptakan participatory process untuk membangun
dirinya sendiri, mencari cara untuk bertumbuh, memahami peranannya dalam
kaitannya dengan pembangunan bangsa, menciptakan hubungan dengan pembangunan
ekonomi nasional dan penghapusan kemiskinan dalam bentuk bantuan yang
diperlukan (World Bank Group 2000).
Gerakan masyarakat untuk mencari cara
memecahkan masalah agar mereka tumbuh kembang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
secara kolektif merupakan salah satu strategi PLS yang sangat relevan untuk
menjadikan pembangunan masyarakat tetap berkelanjutan. Strategi pembangunan
masyarakat tersebut, antara lain adalah pemberdayaan (empowering) dan Community
Driven Development (CDD).
Pemberdayaan
Pemberdayaan sudah sejak tahun 1970-an
diperkenalkan oleh Kinder Vatter (1975) dalam bukunya, Nonformal Education as Empowering Process, yang mendefinisikan
pemberdayaan sebagi upaya kekuatan-kekuatan social, ekonomi, dan politik guna
memperbaiki kedudukannya di masyarakat. Perbaikan kedudukan seseorang atau
sekelompok orang ini sebagaimana dirumuskan oleh Inter American Foundations
(Kinder Vatter, 1975) meliputi indicator sebagai berikut: (1) Akses, yang
meliputi kesempatan lebih besar dalam memperoleh sumber (resources); (2) Daya tawar, berupa peningkatan daya tawar yang
lebih kuat; (3) Pilihan, yakni kecakapan dan peluang untuk memilih berbagai
pilihan; (4) Status, yakni memperbaiki image pribadi, harga diri, dan
sikap-sikap positif terhadap budayanya; (5) Kecakapan kritis, yakni memakai
pengalamannya secara tepat, manila manfaat yang potensial dari
pemecahan-pemecahan masalah; (6) Legitimasi, atau memperoleh pengakuan
selayaknya; (7) Disiplin, yakni menentukan sendiri standar untuk bekerja dengan
orang lain dan lingkungannya.
Pada kesempatan yang lain, Suyono, (2004)
mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah proses pembangunan manusia agar memiliki
kapasitas penuh, memiliki pilihan-pilihan yang lebih luas dan kesempatan yang
lebih besar sehingga mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih bermanfaat dan
lebih makmur. Disinilah pendidikan luar sekolah dapat menjalankan peranannya.
Community Driven Development (CDD)
Dalam rangka metodologi membangun kota,
Bank Dunia mengusulkan strategi yang disebut Community Driven Development (CDD). Ini merupakan prinsip utama
dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan ini sangat penting karena : (1)
merupakan cara efektif untuk memberikan akses pada pelayanan public dan
memberikan kapasitas pada manajemen organisasi masyarakat; (2) penting untuk
meningkatkan kekuatan bagi si miskin atau kelompok-kelompok yang kurang
beruntung untuk berorganisasi dengan sector-sektor local, pusat ataupun swasta;
dan (3) memberdayakan masyarakat dalam mengendalikan dan memelopori pemenuhan
alokasi sumber-sumber secara langsung.
Ada beberapa cirri penting Community Driven
yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) memperlakukan si miskin sebagai
mitra, dan tidak sebagai target upaya-upaya pengurangan kemiskinan; (2)
masyarakat mengelola program-program pembangunan sendiri; (3) memperlakukan se
miskin sebagai inisiator, kolaborator, dan sumber; dan (4) konsep dasarnya
adalah desentralisasi, partisipasi, bantuan atau subsidi, dan peningkatan.
Peran pendidikan luar sekolah dapat menjadi
katalisator (catalyst), pembantu proses (process helper), pemecahan masalah
(solution giver), dan sebagai penghubung sumber (resource linker) (Havelock,
1998). Socrates pernah mengatakan, “aku adalah ibarat seekor lalat yang hinggap
mengganggu sapi yang sedang tidur dalam menyadarkan orang yang berkuasa supaya
bergerak” (Rosenberg, 2001).
Sebagai pembantu proses (process helper),
maksudnya, pendidikan luar sekolah tidak dating dengan membawa pemecahan,
melainkan membimbing klien malalui kegiatan diskusi secara intensif, dan
membantu mengarahkan proses sampai mereka menemukan pemecahan masalahnya.
Dengan peranan seperti ini, seharusnya kelopmpok kurang beruntung diperkotaan
diposisikan sebagai subjek, dan bukan objek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar